Minggu, 22 Januari 2012

UPAYA MENGEMBALIKAN KEFITRAHAN HATI



Upaya MENGEMBALIKAN KEFITRAHAN HATI

PENDAHULUAN

Arti dari kata fitrah adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran atau argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta berkata, “Bunga ini elok rupanya”, tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan terhadap Tuhan dan keberagamaan juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan fitri. Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya kebenaran. Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang mengajaknya ke arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di jagad raya ini yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti melihat keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun Tugas dengan topik “UPAYA MENGEMBALIKAN KEFITRAHAN HATI”. Tugas ini disusun sebagai bahan untuk mendapatkan nilai dari mata kuliah “Profil Tenaga Pendidik”:

Dan khusus kepada bapak Dosen, dengan kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih atas tugas yang diberikan dan juga bimbingannya. Sehingga dengan tugas itu, kami bisa merasakan bagaimana rasanya menyelesaikan sebuah permasalahan.

Selain itu juga kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini.
Besar harapan kami, agar makalah ini, bisa menjadi satu bahan pertimbangan untuk memberikan kami penilaian. Kami menyadari bahwa Tugas ini banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat Konstrukrif dari semua pihak yang telah membaca sangat diharapkan, agar penyusunan mendatang lebih sempurna.

Hormat Kami

SUDARTO


B PERUMUSAN MASALAH

  1. Apakah pengertian dari kefitrahan ?
  2. Bagaimana kefitrahan dalam diri kita?
  3. Bagaimana kefitrahan dalam diri kita setelah kita dewasa?
  4. Bagaimana pandangan tentang Manusia dan pembinaan Suara Hati ?
  5. Bagaimana caraku agar hatiku fitrah kembali?

C. TUJUAN PEMBAHASAN MASALAH

  1. Mengetahui pengertian dari kefitrahan.
  2. Mengetahui kefitrahan dalam diri kita.
  3. Mengetahui kefitrahan dalam diri kita setelah kita dewasa.
  4. Mengetahui pandangan tentang Manusia dan pembinaan Suara Hati.
  5. Mengetahui cara-caraku agar hatiku fitrah kembali

D. SISTEMATIKA PEMBAHASAN.

Sistematika pembahasan makalah ini diuraikan dalam bahasa yang lugas, sederhana sehingga mudah dipahami termasuk oleh semua pembaca dari kelas Tarbiyah masuk sore. Selain itu berisi panduan – panduan dan pelajaran bagi generasi muda Islam sekarang, serta keterangan – keterangan mengenai masalah Kefitrahan dalam diri kita. Dengan perincian sebagai berikut :

  1. BAB 1 membahas Pendahuluan, Kata Pengantar, Perumusan Masalah, Tujuan Pembahasan masalah serta Sistematika pembahasan.
  2. BAB II berisi mengenai pembahasan masalah
  3. BAB III yang didalamnya merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan dan saran


BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

UPAYA MENGEMBALIKAN KEFITRAHAN HATI


A. Pengertian Fitrah


Kaidah Fitrah adalah wujud singkronisasi antara manusia dengan seluruh makhluk semesta alam. Dan inilah yang dinyatankanNya sebagai aturan wajib ditepati oleh manusia , sebagaimana dinyatakan dalam surah Ar-Rum : 30, sebagai berikut:

Artinya:

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu,

Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

B. Mari Kita Lihat Kefitrahan Kita dalam mulai awal

Kalau kita masih mau berbicara bahwa fitrah kita yang paling awal adalah fitrah seorang bayi, maka seorang bayi fitrahnya adalah: Dia tidak tahu namanya dan tidak tahu pula nama-nama lainnya, dia tidak tahu jenis kelaminnya, dia tidak tahu siapa orang tuanya, dia tidak pernah mengaku punya apa-apa, dia tidak tahu apa itu pahala dan dosa, dia tidak tahu apa itu siang dan malam, dia tidak tahu apa itu lapar dan haus, dia tidak tahu apa itu bahagia dan sedih, dia tidak tahu kata-kata dan huruf-huruf, dia tidak tahu warna-warni, bahkan dia tidak tahu untuk apa dia menangis dan tertawa.   Sedangkan kita…, semua tidak-tidak itu tadi sudah menjadi atribut keseharian kita. Dengan gagah perkasa kita mengakui semuanya itu sebagai atribut milik kita. Nama saya Sudarto , lalu semua yang ada disekitar si Darto adalah ‘MILIK’ si Darto. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa tidak mengaku, bisa tidak merasa memiliki ditengah-tengah puluhan pengakuan dan kepemilikan kita itu…?. Ini sudah menjadi sebuah persoalan tersendiri…

 C. Sekarang mari kita lihat fitrah kita sebagai orang dewasa.

Islam menyebut bahwa melalui hati inilah manusia menemukan kesadaran ketuhanannya --yang nantinya akan mempunyai segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran yang disebut ketakwaan ini tumbuh dalam hati; sebaliknya dosa dan kekafiran juga berkembang dalam hati.

Kita sebagai seorang muslim yang taat, haruslah percaya kepada apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Tetapi dalam hal ini kita tidak boleh hanya diam tanpa berusaha, karena Allah tidak akan merubah nasib takdir seseorang apabila orang itu tidak mau berusaha untuk merubahnya

Problematika kemudian adalah dimaksudkan dengan istilah tersebut apakah sekedar menunjukkan makna konotatif ataukah denotatif.

Ada sebuah ungkapan yang dikenal di kalangan orang-orang kerohanian, bahwa di dalam diri manusia ada “ruang kosong” yang harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Jika kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka ruang kosong itu, otomatis akan diisi dengan hal-hal yang buruk. Ibarat sebuah roda, ruang kosong itu adalah yang menjadikannya sebagai roda. Metafor ini bisa dipakai untuk manusia: ruang kosong itulah yang menjadikan kita berarti secara spiritual sebagai manusia. Itulah: suara hati, atau hati nurani.

Apa yang berkaitan dan sering dibicarakan sebagai “suara hati” (conscience) ini dalam Islam digambarkan dengan berbagai nama, qalb, fu`âd, lûbb, sirr, `aql, dan sebagainya, yang semuanya berhubungan dengan pengertian kesadaran, atau biasa disebut dalam wacana Islam sebagai “hati” (qalb, kalbu) saja, dari kata qalaba yang artinya “membalik” --berpotensi bolak-balik: di suatu saat merasa senang, dan di saat lain merasa susah, di suatu saat menerima, di saat lain meolak. Sehingga hati seringkali tidak konsisten, sehingga dibutuhkanlah cahaya Ilahi (maka disebut “hati-nurani” –yang maknanya hati yang bercahaya). Hati bisa “bolak-balik” sebab, kadangkala ia menerima bisikan malaikat (lammah malakîyah), kadangkala bisikan setan (lammah syaithânîyah), kadangkala bisikan nafsunya sendiri.

Kedudukan hati ini sangat penting dalam Islam, sehingga dalam Sufisme pemikiran mistisisme Islam misalnya, menaruh uraian tentang hati ini dalam jantung ajarannya. Walaupun kata “hati” ini barangkali kurang mengena bagi orang-orang modern dewasa ini yang terbiasa dengan wacana ilmu pengetahuan yang rasional, tetapi asing dengan istilah-istilah metaphor seperti “hati” yang lebih banyak merupakan tamsil-ibarat dari ilmu-ilmu kearifan. Tetapi justru inti ajaran agama yang membawa manusia pada moralitas luhur (akhlâq al-karîmah) ada dalam wacana suara hati ini.

Imam al-Ghazali seorang teolog besar Muslim abad 12 membahas soal suara hati ini dalam salah satu babnya dalam buku Ihya’ Ulum-i al-Din yang sangat terkenal. Pembahasan al-Ghazali tentang hati dalam buku tersebut, dapat dibandingkan dengan pembahasan tentang “Kecerdasan Emosi” (Emotional Intelligence, EQ) dan “kecerdasan spiritual” (spiritual intelligence, SQ) dalam psikologi kontemporer. Dalam buku tersebut, al-Ghazali menjelaskan “hati” sebagai acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan rohani. Bahkan ia menafsirkan hati sebagai esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Ia membandingkan hati dengan sebuah kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Jika hati ada dalam situasi yang kacau, di mana akal-budi (`aql) yakni potensi yang dapat mengembangkan suara hati ini ditaklukkan dan tak dikenali, maka hati menjadi “mendung dan gelap” (artinya orang mengalami perasaan-perasaan negatif (sering disebut negative ego, dalam spiritualitas), akibatnya menjadi kurang cerdas secara emosi dan spiritual, yang biasa disebut dalam tasawuf “penyakit hati").

Sebaliknya jika keseimbangan yang benar ditegakkan, kaca hati tersebut akan mencerminkan kecemerlangan bidang rohani, dan dengan demikian terbukalah sifat-sifat langit, dan terpantullah akhlak Allah. Sesuai dengan Hadits Nabi, “Hiasilah dirimu dengan akhlak Allah.” Melalui dzikir kepada Allah, dan terhiasinya sifat-sifat positif dari akhlak-Nya, maka suara hati ini (kesadaran moral) pun mencapai apa yang dalam agama disebut “jiwa yang tenang” (nafs al-muthmainnah) yang membuka pintu bagi kedekatan kepada Allah. Sehingga hati menjadi tempat bagi ingatan akan Allah, sehingga akhirnya hati ini menjadi cahaya Allah. Hal ini seperti diungkap dalam al-Qur’an: al-Nûr /24: 35.

Artinya :

25. dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

Islam menyebut bahwa melalui hati inilah manusia menemukan kesadaran ketuhanannya --yang nantinya akan mempunyai segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran yang disebut ketakwaan ini tumbuh dalam hati; sebaliknya dosa dan kekafiran juga berkembang dalam hati.

D. Pandangan tentang diri kita dan Pembinaan Suara Hati

Islam menegaskan bahwa manusia itu pada dasarnya baik.  Pelihara saja dasar itu, tidak usah ditambahi dan dikurangi. Meminjam istilah Dante Alegieri dalam bukunya Divina Comedia, menurut Islam manusia itu dilahirkan dalam fitrah yang suci.  Sehingga seorang bayi, hidup dalam alam

0 komentar:

Posting Komentar

DAFTAR ISI