Anjuran melakukan perintah Rasul sesuai
kemampuan, menjauhi larangannya dan larangan banyak bertanya
Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wasallam bersabda : " Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya
maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya
maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang
menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya
pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka
dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka ". (H.R.Bukhari dan
Muslim).
Takhrij Hadits secara global
Hadits dengan lafazh diatas dikeluarkan
oleh Imam Muslim saja dari riwayat az-Zuhri dari Sa'id bin al-Musayyab dan Abu
salamah; keduanya dari Abu Hurairah, begitu juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari,
Imam Ahmad dan an-Nasai serta ditashhih oleh Imam Ibnu Hibban.
Makna Hadits secara Global
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan
untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau.
Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah
menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak
bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya
begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka
tersebut.
Penjelasan Tambahan
Banyak hadits-hadits lain yang senada
dengan hadits tersebut yang menunjukkan larangan bertanya tentang hal-hal yang
tidak perlu dan justru memojokkan posisi si penanya sendiri seperti pertanyaan
seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya nanti, apakah di
neraka atau di surga ? atau yang bertanya tentang nasabnya, dan lain-lainya.
Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-sia, atau dengan maksud
mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri/berkeras kepala sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang Munafik dan selain mereka.
Pertanyaan serupa yang juga dilarang adalah
mempertanyakan ayat-ayat dengan tujuan untuk sekedar menunjukkan kekerasan hati
dan penolakan terhadapnya seperti yang dilakukan oleh kaum Musyrikun dan Ahlul
Kitab. Begitu juga larangan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal
yang hanya diketahui oleh Allah semata dan tidak dapat diketahui oleh manusia,
seperti bertanya tentang kapan saat kiamat terjadi dan tentang ruh.
Hadits-Hadits tersebut juga berbicara
tentang larangan bagi kaum Muslimin untuk bertanya banyak seputar hal yang
berkaitan dengan halal dan haram dan larangan bertanya seputar hal yang belum
terjadi seperti ada seseorang yang bertanya tentang apa yang terjadi terhadap
keluarganya padahal masalah yang ditanyakannya itu masih bersifat
dugaan/perandaian.
Jadi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah diatas (hadits yang kita bicarakan) maksudnya adalah : barangsiapa
yang tidak menyibukkan dirinya dengan memperbanyak bertanya tentang hal-hal
yang tidak terdapat semisalnya dalam AlQuran ataupun as-Sunnah tetapi justeru
kesibukannya hanya dalam memahami firman Allah dan Sabda RasulNya yang
tujuannya semata-mata hanya agar dapat menjalankan segala yang diperintahkan
kepadanya dan menjauhi segala yang dilarang baginya, maka orang semacam inilah
yang dimaksud oleh hadits diatas dengan orang yang mendatangkan/melakukan apa
yang diperintahkan oleh Rasulullah. Sedangkan orang yang tidak memberikan
perhatiannya untuk memahami apa yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya dan
justeru banyak menyibukkan dirinya dengan menciptakan pertanyaan-pertanyaan
yang masih bersifat kemungkinan; bisa terjadi dan bisa tidak, dan mencari-cari
jawabannya berdasarkan pertimbangan logika semata, maka orang semacam ini
dikhawatirkan termasuk orang yang telah melanggar hadits tersebut diatas yaitu
melakukan larangan dan meniggalkan peritah yang ada.
Sesungguhnya banyaknya terjadi
peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran maupun dari
as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan kepada perbuatan
melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi larang-larangan keduanya.
Jika saja orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan bertanya tentang apa yang
disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan pekerjaan tersebut (yang
ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu, begitu juga dia
bertanya tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia meninggalkan
pekerjaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
terjadi masih dalam kaitannya dengan AlQuran dan as-Sunnah. Sebab yang terjadi
justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan logika dan
hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa itu terjadi
dalam kondisi yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah, dan
dalam hal ini barangkali sangat sulit untuk merujuknya kembali kepada
hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah karena sudah
terlalu jauh dari keduanya.
Secara global, barangsiapa yang melakukan
apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam hadits
tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan dia
memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan kepadanya saja,
terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan
akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya
berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus
kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti
halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih
dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka
kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.
Permasalahan hadits diatas
Setidaknya terdapat tiga masalah yang
dibicarakan para ulama seputar hadits diatas, yaitu: pertama, masalah bertanya
tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan
terjadi. Kedua, masalah keutamaan meninggalkan al-Muharramât (hal-hal yang
diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah. Ketiga, masalah orang
yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan tetapi hanya mampu
melakukan sebagiannya saja.
i) Masalah bertanya tentang hal yang tidak
bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi
Yang dimaksud dengan bertanya tentang hal
yang tidak bermanfaat tersebut adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang
sebenarnya tidak perlu dilontarkan karena bisa saja hal tersebut berakibat
jelek terhadap si penanya sendiri, begitu juga dengan masalah bertanya tentang
hal-hal yang sebenarnya belum terjadi namun diperkirakan akan terjadi.
Sebab-Sebab dibencinya banyak bertanya
perihal yang tidak bermanfaat
Diantara sebab dari adanya larangan banyak
bertanya seputar hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah ; Pertama,
karena ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban
syar'i (taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara
berdasarkan wahyu semata, maka datangnya jawaban tentang masalah yang
dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita'ati), seperti pertanyaan
tentang apakah haji dilakukan setahun sekali atau tidak ?. Dalam sebuah hadits
yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad dan
ditashhih oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
"Sesungguhnya orang-orang Islam yang paling besar dosanya adalah orang
yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka lantaran pertanyaannya
hal itu (kemudian) diharamkan ".
Berkaitan dengan hadits ini, ada yang berpendapat
bahwa hal itu khusus pada zaman Rasul saja, sedangkan setelah beliau wafat, hal
itu bisa terhindarkan. Namun bukan lantaran itu saja sebenarnya sebab
dibencinya bertanya tentang hal itu, tetapi ada sebab lainnya yaitu,
sebagaimana yang diisyaratkan dalam ucapan Ibnu 'Abbas, bahwa seluruh
permasalahan agama yang diperlukan oleh kaum Muslimin pasti telah dijelaskan
oleh Allah dalam KitabNya dan telah disampaikan oleh RasulNya sehingga tidak
perlu lagi seseorang mengajukan pertanyaan sebab Allah Maha Mengetahui
kemaslahatan hamba-hambaNya; sesuatu yang didalamnya diperuntukkan bagi
kemaslahatan dan mendapatkan hidayah buat mereka yang tentunya Allah pasti
menjelaskannya sebelum adanya pertanyaan , sebagaimana Allah berfirman :
"…..Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat..". (Q.,s. an-Nisa'/4: 176). Maka oleh karenanya tidak
diperlukan lagi pertanyaan tentang apapun apalagi sebelum terjadinya dan
sebelum kebutuhan akan hal itu, akan tetapi keperluan yang sesungguhnya adalah
bagaimana memahami apa yang telah diinformasikan oleh Allah dan RasulNya,
kemudian mengikuti dan mengamalkannya. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wasallam sering ditanyai beberapa masalah maka beliau langsung
merujuknya kepada AlQuran; seperti tatkala beliau ditanya oleh Umar tentang
pengertian "al-Kalâlah", maka beliau menjawab dengan sabdanya :"cukup
bagimu (dalam masalah ini/al-Kalâlah) ayat ash-Shaif". (H.R. Muslim dan
Ibnu Majah).
Kedua, ditakutkan bahwa dengan pertanyaan
itu justeru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan karenanya Nabi sangat
membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya, seperti pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum Li'an ; yaitu pertanyaan seseorang kepada Nabi perihal
sesuatu yang masih merupakan dugaan/perandaian yang mungkin akan terjadi
terhadap keluarganya dan ternyata lantaran pertanyaan itu hal tersebut
benar-benar terjadi. (Lihat Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan at-Turmuzi dan
Shahih Ibnu Hibban).
Jadi, bila himmah/keinginan si pendengar
begitu mendengar perintah dan larangan hanya diarahkan kepada penciptaan
masalah-masalah yang berpretensi kemungkinan terjadi dan kemungkinan tidak
terjadi saja maka hal inilah yang termasuk dalam larangan tersebut yang dibenci
untuk bertanya-tanya tentangnya sebab hal itu malah akan mematahkan semangat
untuk mengikuti perintah tersebut. Dan hal ini pula yang menyebabkan Ibnu 'Umar
memarahi seseorang yang bertanya kepadanya tentang hukum menyalami hajar aswad,
maka lantas hal itu dijawab oleh Ibnu 'Umar : "aku melihat Nabi Shallallahu
'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya". Orang tersebut berkata
kepadanya : bagaimana jika aku tidak sanggup melakukannya karena sesuatu hal ?
bagaimana jika sedang dalam keadaan berdesak-desakan? ..Lalu Ibnu 'Umar
menjawab :"jadikan ungkapanmu 'bagaiman jika' itu di negeri Yaman saja
!(barangkali si penanya ini berasal dari negeri Yaman yang memang penduduknya
suka membuat pernyataan semacam itu atau hal semacam itu merupakan kebiasaan
yang ada di negeri Yaman-penj), aku telah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi
Wasallam menyalaminya dan menciumnya ". (dikeluarkan oleh at-Turmuzi).
Maksud Ibnu Umar dalam riwayat tersebut adalah bahwa jadikanlah keinginanmu
semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasulullah sehingga tidak perlu mengemukakan
bayangan-bayangan kemungkinan tidak dapat melaksanakan hal itu atau lantaran
sulitnya melakukan hal itu sebelum terjadi, karena hal itu justeru bisa
mematahkan semangat untuk mengikuti sunnah Nabi. Bukankah tafaqquh (mendalami
syari'at) hanya terdapat dalam agama dan bertanya tentang ilmu hanya dipuji
bilamana hal itu untuk dilakukan/dipraktekkan bukan hanya untuk berdebat dan
mencari muka?.
Sikap Salaf dalam masalah ini
Yang perlu diketahui, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi Wasallam tidak pernah memberikan keringanan/rukhshah
bertanya tentang banyak masalah (yang tidak perlu) kecuali kepada
delegasi-delegasi orang 'Arab pedalaman (al-A'râb) dan orang-orang (yang
kondisi keimanannya) seperti mereka yang datang kepada beliau. Hal itu
(memberikan rukhshah kepada mereka) dilakukan oleh beliau dengan tujuan
mendekatkan hati mereka dan melunakkannya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan
Anshor yang tinggal disekitar kota
Madinah dan telah mantap keimanannya, maka hal itu (bertanya tentang banyak
masalah yang tidak perlu tersebut) dilarang bagi mereka. Diantara saksi yang
membenarkan statement ini adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari
an-Nawwas bin Sam'ân, dia berkata: aku telah tinggal bersama Rasulullah selama
setahun di Madinah dimana tidak ada satupun hal yang mencegah/melarangku
berhijrah kecuali hanya satu permasalahan/pertanyaan saja, sedangkan salah
seorang dari kami bila berhijrah mereka tidak pernah bertanya-tanya kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi Wasallam .
Dan Dari al-Bara' bin 'Âzib, dia berkata
:"Jika penghujung tahun telah datang kepadaku dan aku sebenarnya
berkeinginan untuk bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah, lantas aku
merasa takut untuk menyampaikannya maka kami hanya bercita-cita agar yang
datang bertanya itu adalah orang-orang 'Arab pedalaman (al-A'râb)".
(Musnad al-Kabir, karangan Abi Ya'la).
Ibnu 'Abbas berkata :"Saya tidak
pernah melihat suatu kaum yang lebih baik dari para Shahabat Muhammad
Shallallahu 'alaihi Wasallam ; mereka tidak bertanya kepada beliau kecuali
tentang dua belas masalah saja, yang semuanya termuat dalam AlQuran : yaitu
firman Allah : "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi…". (Q.,s,al-Baqarah/2 : 219). Dan firmanNya:"Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram..". (Q.,s,
al-Baqarah/2: 217). Dan firmanNya :Dan mereka bertanya kepadamu tentang
anak-anak yatim.." (Q.,s. al-Baqarah/2: 220)……hingga akhir hadits.
Berkaitan dengan pertanyaan seputar
peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, para shahabat bukannya tidak pernah
menanyakan tentang hal itu tetapi mereka menanyakan hal itu, semata-mata untuk
mereka amalkan begitu hal itu benar-benar terjadi, seperti pertanyaan Huzaifah
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam tentang fitnah yang akan terjadi, dan
bagaimana mereka menyikapinya nanti. Begitu juga mereka pernah menanyakan
kepada beliau tentang para Umara' (pemimpin) yang beliau beritakan akan datang
setelah beliau, bagaimana sikap mereka; mena'ati atau memerangi mereka.
(H.R.Bukhari).
Ibnu 'Umar berkata : "Janganlah kalian
bertanya tentang hal-hal yang belum terjadi, karena sungguh! saya telah
mendengar 'Umar melaknat orang yang bertanya tentang sesuatu yang belum
terjadi". (diriwayatkan oleh Ibnu 'Abdil Barr). Begitu juga, Zaid bin
Tsabit bila ditanyai tentang sesuatu, dia balik bertanya : apakah hal ini
dulu memang begini ?, jika mereka menjawab : tidak, maka dia lalu berkata
:"biarkan saja dulu hingga terjadi".
Al-Hasan al-Bashri berkata
:"Hamba-Hamba Allah yang paling jahat adalah orang-orang yang
mengikuti/selalu menguntit masalah-masalah yang pelik yang dengannya membuat
bencana bagi hamba-hamba Allah yang lain".
Imam al-Auzâ'i berkata : "Sesungguhnya
bila Allah menghendaki diharamkannya keberkahan ilmu seorang hamba, maka Dia
akan melemparkan kesalahan-kesalahan/ucapan-ucapan ngawur ke lisannya. Sungguh
aku telah melihat mereka sebagai orang-orang yang paling sedikit ilmunya".
Alhasil, banyak sekali ungkapan dan
perbuatan Salaf tentang ketidaksukaan mereka bertanya tentang hal-hal yang
tidak perlu dan yang masih berpretensi kemungkinan terjadi.
Sikap-Sikap para Ulama dalam mempertanyakan
sesuatu yang belum terjadi
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi
beberapa kelompok :
1. Ahlul
Hadits : mereka menutup rapat-rapat pintu bertanya tentang masalah tersebut
(bab al-masâil) sehingga hal ini menyebabkan mereka kurang faqih dan kurang
keilmuannya berkaitan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah kepada
RasulNya dan mereka akhirnya menjadi pembawa fiqih yang tidak faqih.
2. Ahlur
Ra'yi : mereka sebaliknya sangat memperluas bab ini, sehingga melahirkan
banyak bab tentang ini (bab tentang permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi); diantaranya ada yang
terjadi menurut kebiasaan dan diantaranya ada yang tidak terjadi, dan mereka
sangat disibukkan dengan hal ini dengan memberikan jawaban secara berlebihan
(melebihi kemampuan mereka), memperbanyak perdebatan yang akibatnya melahirkan
pula perselisihan hati dan memantapkan kemauan hawa nafsu, rasa permusuhan dan
kebencian. Dan yang lebih menonjol lagi, adalah niat untuk selalu menang (dalam
berdebat) dan mendapatkan pujian orang serta bersombong-sombong. Hal ini tentu
saja amat dicela oleh ulama-ulama Rabbani, begitu juga banyak hadits
menunjukkan keharaman perbuatan semacam ini.
3. Fuqaha'
Ahlul Hadits yang 'Âmilin (yang mengamalkan hadits) : Keinginan mereka yang
paling besar adalah mencari makna-makna AlQuran dan tafsiran-tafsirannya
baik melalui sunnah-sunnah yang shahih, perkataan para shahabat atau
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Begitu juga mereka
mencari/membahas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam ; dengan tujuan
mengetahui mana yang shahih darinya dan mana yang tidak, mendalaminya
(tafaqquh) dan memahaminya, mengetahui makna-maknanya, serta mengetahui
perkataan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam
berbagai disiplin ilmu ; Tafsir, Hadits, masalah-masalah halal dan haram,
pokok-pokok sunnah, zuhud, raqâiq dan lain-lain.
Inilah metode yang dilakukan oleh Imam Ahmad dan orang-orang yang sependapat dengannya
yang termasuk dalam kelompok ulama hadits yang Rabbani. Imam Ahmad selalu
berkata, bila beliau ditanyai mengenai masalah-masalah baru yang belum terjadi
:"tinggalkan kami (jangan sibukkan kami) dengan masalah-masalah baru yang
diada-adakan ini ! ".
Ahmad bin Syubwaih berkata :"barangsiapa yang menginginkan ilmu kubur
('Ilmul Qabri) maka hendaklah dia mengkaji atsar-atsar (hadits-hadits) dan
barangsiapa yang menginginkan ilmu roti ('Ilmul Khubzi) maka silahkan
mengkajinya dengan ra'yun (logika)".
ii) Masalah keutamaan meninggalkan
al-Muharamât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya
sunnah.
Diantara masalah lain yang dibicarakan para
ulama berkaitan dengan hadits diatas (yang kita bicarakan), adalah masalah
keutamaan meninggalkan al-muharramât atas perbuatan ta'at . Secara zhahirnya,
yang dimaksud dengan perbuatan ta'at disini adalah perbuatan ta'at yang
bersifat sunnah (bukan wajib). Sedangkan inti dari pembicaraan mereka tentang
hal ini adalah bahwa menjauhi/meninggalkan al-muharramât (hal-hal yang
diharamkan) meskipun sedikit lebih utama daripada memperbanyak
perbuatan-perbuatan ta'at yang bersifat sunnah, karena hal itu
(menjauhi/meninggalkan al-muharramât) adalah wajib sedangkan mengerjakan
keta'tan yang sunnah itu hukumnya adalah sunnah.
Masalah ini dapat disimpulkan dari potongan
hadits diatas (yang kita bahas ini) yaitu dari sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wasallam : "Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya
maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya
maka datangkanlah/lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian". Dalam
hal ini, sebagian ulama berkata : "Dari potongan hadits diatas diambil
kesimpulan bahwa larangan adalah lebih keras dari perintah, karena tidak pernah
ada keringanan/rukhshah dalam melakukan suatu larangan sedangkan perintah
selalu dikaitkan dengan istithâ'ah (kemampuan) dalam melakukannya". Ucapan
ini diriwayatkan dari Imam Ahmad.
iii) Masalah orang yang tidak mampu
melakukan perintah secara keseluruhan dan hanya mampu melakukan sebagiannya
Dalam masalah ini, orang tersebut harus
melakukan apa yang mungkin untuk dilakukannya. Kemudian masalah ini berkembang
kedalam pembahasan masalah yang terkait dengan masalah-masalah fiqih, seperti
thaharah, shalat, zakat fitrah, dan lain-lain. (untuk penjelasan yang
lebih rinci lagi, lihat; kitab Jami'ul 'Ulum wal hikam, karya Syaikh Ibnu Rajab
al-Hanbali, h. 253-257).
Intisari Hadits
·
Anjuran untuk
melakukan perintah Rasulullah sesuai dengan kemampuan yaitu dengan memberikan
perhatian yang penuh terhadap apa yang datang dari Allah dan RasulNya,
berijtihad dalam memahaminya, mengetahui makna-maknanya kemudian
mengaplikasikannya dalam amaliah sehari-hari.
·
Para Salaf sangat
berhati-hati dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang
tidak perlu dan masih berpretensi kemungkinan akan terjadi bahkan cenderung
menghindarinya hingga hal itu benar-benar terjadi.
·
Dari satu sisi,
bahwa meninggalkan al-Muharamât adalah lebih utama dari melakukan perbuatan
ta'at yang sifatnya sunnah.
·
Allah Ta'ala tidak
membebankan taklif syar'i diluar kemampuan mukallaf dan dalam hal tertentu
taklif tersebut berubah menjadi rukhshah/dispensasi sebagai kasih sayangNya
kepada hamba-hambaNya sedangkan dalam masalah larangan maka tidak ada
keringanan apapun untuk melakukannya bahkan taklifnya harus dilakukan secara
total kecuali dalam keadaan darurat dimana dimaksudkan bukan untuk
bersenang-senang serta mengumbar hawa nafsu.
·
Diantara ciri-ciri
umat-umat terdahulu adalah suka banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak
bermanfaat dan suka membantah Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan hal
itulah sebagai penyebab hancur dan binasanya mereka.
(Disarikan dari kitab "Jâmi'ul
'Ulûm wal Hikam", karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, juz. I, h. 238-257).