Selasa, 17 Februari 2009

Dalam Penantianku



PERJUANGAN HARUS TERUS DIPERJUANGKAN



DALAM PENANTIANKU








Kunjungi juga Website kami di:www.Makalahku.co.cc


Penulis adalah Mahasiswa UII Madiun, Jurusan Tarbiyah PAI semester 7
















PENDAHULUAN


Oleh:Sudarto


Untuk maju kita harus:

  • Mempunyai semangat dari dalam diri kita sendiri untuk merubah nasib.
  • Berpikiran luas, tidak egoisme dan akusentrisme.
  • Mempunyai visi dan misi yang jelas
  • Berpikiran tajam dan tanggap


Selain hal tersebut diatas kita harus berusaha dengan segala daya upaya,
baik itu melalui Do'a dan juga ikhtiar.


Dalam hal berdo'a dalam setiap agama tentunya yang dimintai adalah Tuhan YME.
Karena kita dalam berdo'a berurusan langsung dengan Tuhan maka sebaiknya harus mengerti cara
menghadap kepada yang maha kuasa.


Karena saya adalah pemeluk Islam, maka disini saya ingin menyampaikan tentang
adab abdi didalam berdo'a. Agama Islam telah mengajarkan cara - cara yang terbaik didalam berdo'a, yaitu sebagai berikut:


  1. Waktu Sesudah Sholat, baik itu sholat Fardlu maupun sholat sunnah.
  2. Waktu ketika tengah malam dengan sholat malam.
  3. Dan ketika beberapa waktu yang mustajab untuk berdo'a.

Dalam mengemukakan permohonan dan do'a kepada Tuhan, hendaknya disertai dengan adab, yang diantaranya:

  1. Menjauhi yang diharamkan, baik makanan, minuman, pakaian.
  2. Dengan ikhlas hati
  3. Baik sekali bila didahului dengan sembahyang karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Abi Darda, bahwa Rasulullah s.a.w bersabda:
    Siapa berwudlu dengan baik kemudian sembahyang dua rakaat, setelah itu berdoa, maka Allah akan memperhatikan permintaannya, diberiNya dengan segera atau diberiNya dengan terlambat.
  4. Mengucapkan kalimat tahmid(Alhamdulillahhirabbil"aalamiin), shalawat dan salam atas nabi Muhammad s.a.w pada awal dan akhir doa
  5. Khusu' dan tenang.
  6. Dengan suara rendah dan mengharap dengan sepenuh hati.
  7. Mengulangi beberapa kali dengan tidak berpitus asa.
  8. Menghadirkan hati pada Tuhan.
  9. Jangan berdoa untuk berbuat dosa.
  10. Jangan berkata:Aku telah berdoa , tetapi tidak diperkenankan Tuhan.

Dipetik dari kitab TUHFATUDZ DZAAKARIIN halaman 34, karangan muhaddits Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dan dipetik oleh Haji Djafar Sabaran dalam bukunya Risalah Berdoa

Semoga apa yang aku tulis dalam bab awal ini berguna bagi saya sendiri dan juga para pembaca yang dilindungi oleh Allah s.w.t.



MUNGKINKAH INI AKAN TERUS TERJADI



a. DILEMA DALAM PR

Mungkin ini adalah tulisan ngawur dari seorang warganegara yang mempunyai profesi rendahan. Oleh karena itu sebelumnya saya memohon maaf kepada siapapun yang merasa tersinggung atas karya saya ini. TERIMA KASIH

Pembantu Rumah Tangga, dalam kehidupan domestik masyarakat di Indonesia sesungguhnya memiliki peran sosial penting, namun strata kelas menghambat publikasi gerak sosial kaum Pembantu ini untuk melakukan gerakan budaya, konsolidasi kekuatan daya tawar politik maupun membentuk habitat dan way of life-nya. Hanya pembantulah satu-satunya pekerjaan yang tidak memiliki daya realitasnya di Indonesia. Pembantu tidak bisa disamakan dengan buruh yang merupakan

Pembantu memiliki pengaruh sosial yang luar biasa dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ini bisa dilihat dari beragam nama yang dinisbahkan pada kaum pembantu ini, dari mulai Babu, Bedinde, Batur, Jongos, Kacung sampai Pembokat. Budaya lokal yang paling banyak memanfaatkan tenaga pembantu adalah Budaya Jawa. Itu tak lepas dari struktur priyayi. Dalam budaya Jawa dikenal istilah Magersari dan Ngenger. Magersari adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di lahan milik priyayi kemudian juga bekerja pada Priyayi itu sementara Ngenger adalah bekerja secara ikhlas dan tidak bayar kepada suatu rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi secara martabat, derajat dan pangkat dibanding dirinya. Suharto, eks Presiden RI itu pernah merasakan budaya Ngenger ini di rumah keluarga Harjowiyono di Wonogiri disitu Suharto muda bekerja membersihkan rumah, menguras dan mengisi air dan kegiatan domestik rumah tangga yang mirip dengan pekerjaan seorang kacung –makannyapun dari makanan sisa sang majikan-. Namun dari keluarga Harjowiyono, Suharto muda mengenal Kyai Daryatmo yang kelak menjadi penasihat spiritual setelah Suharto menjadi `orang’ disinilah tanggung jawab Harjowiyono membentuk Suharto, mengenalkan dunia pertanian yang kelak sektor pertanian merupakan pusat perhatian dan prestasi tertinggi Suharto dalam mengelola negara.

Dalam budaya Jawa, Cina Peranakan (juga mungkin Sunda) pembantu bukanlah pekerja yang memiliki hak-hak pekerja dengan imbalan kemampuan profesi. Makna pembantu lebih diartikan sebagai orang yang tidak mampu untuk hidup sendiri dalam dunia yang keras, maka itu pembantu memerlukan perlindungan dari kekuasaan sang majikan. Sinar kekuasaan inilah yang membuat pembantu itu merasa nyaman dan terlindungi. Bahkan sampai saat ini pembantu adalah bagian dari keluarga bukan pekerja asing di dalam keluarga yang punya hak dan kewajiban sesuai dengan klaim profesi. Kenyamanan, perlindungan dan merasa bagian dari keluarga yang menurut dirinya dipandang terhormat merupakan alasan banyak pembantu-pembantu rumah tangga di Indonesia bisa betah bekerja di keluarga selama puluhan tahun bahkan turun- temurun pada satu keluarga tak heran anak seorang majikan kenal dengan pembantu yang merawat ibu atau bapaknya saat masih bayi bahkan mungkin masih bekerja di keluarga tersebut.

Pembantu dalam makna Jawa juga memiliki hak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik dengan memudahkan mobilitas sosial mereka ke strata kelas yang lebih terhormat, tanggung jawab itu secara moral diletakkan pada sang majikan. Sampai saat ini masih banyak pembantu- pembantu di Indonesia yang masih usia sekolah di sekolahkan oleh majikannya. Istilah `Pembantu disekolain’ masih sering kita dengar di sampai sekarang.

Pertengahan tahun 90-an sampai awal tahun 2000-an, agak sulit keluarga-keluarga menengah Indonesia mencari pembantu karena mereka harus bersaing dengan pasaran tenaga kerja pembantu di luar negeri, namun di tahun 2005 keatas ada kecenderungan para pekerja migran yang berprofesi pembantu rumah tangga itu lebih memilih bekerja pada keluarga-keluarga Indonesia yang ternyata walaupun membayar murah pekerjaan mereka (sekitar Rp.350.000 sampai Rp.500.000 sebulan) namun kebajikan kultur Jawa membuat mereka sadar, bahwa hubungan kontrak yang semata-mata kapitalisme tidak membawa kenyamanan bagi mereka.

Di Hongkong dan Taiwan dimana banyak komunitas pekerja pembantu rumah tangga asal Indonesia. Profesi pembantu rumah tangga bukan lagi berkaitan semata-mata pada masalah kultur yang melekat seperti di Indonesia, tapi lebih murni kepada persoalan tenaga kerja. Para pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, memiliki tempat dalam strata sosial dan diakui dalam kedudukan sosialnya tersebut yang mungkin paralel dengan kelompok sosial pekerja asing kelas bawah. Secara sosial mereka diakui, tapi secara kemanusiaan kedudukan pembantu rumah tangga di Hongkong dan Taiwan seringkali terancam, ini mungkin disebabkan oleh : tuntutan profesionalitas, merasa terancam terhadap kehadiran pekerja asing dan sistem sosial mereka yang keras, disiplin dan tepat waktu.

Di Indonesia jarang sekali pembantu dituntut bisa melakukan sesuatu dengan mahir, apalagi pembantu baru. Bagi keluarga-keluarga Indonesia seorang pembantu lebih dinilai dari kemampuannya memberi rasa nyaman secara psikologis pada sang majikan bukan pada kemampuannya yang tinggi dalam memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci –setrika pakaian dan tetek bengek pekerjaan rumah tangga lainnya. Pembantu yang bisa menyesuaikan diri dan tahu unggah- ungguh komunikasi dengan majikan yang merasa strata sosialnya lebih tinggi lebih dapat cepat beradaptasi. Jadi memang pekerjaan PRT itu tidak membutuhkan tingkat profesionalitas tertentu, agen-agen penyalur lokal pembantu jarang memberikan pelatihan yang njlimet, idiom `kalo nggak goblok, ya bukan pembantu’ menjadi stigma yang wajar diterima masyarakat Indonesia. `Pembantu bodoh-bodoh pintar’ adalah idaman keluarga-keluarga di Indonesia bahkan dunia lawak Srimulat sering menggambarkan pembantu jenis ini.

Tapi bagimasyarakat berkultur Industri dan tidak mengenal budaya Jawa seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan mereka menganggap pembantu adalah profesional, tidak ada subordinat sosial disini, bagi mereka eksistensi sosial PRT sejajar dengan profesi-profesi lainnya, bahkan secara hukum pekerjaan mereka diakui, disini posisi sosial pembantu mendapat pengakuan formal - sementara di Indonesia perjuangan formalisasi pekerjaan pembantu rumah tangga yang diperjuangkan LSM- LSM tenaga kerja tidak pernah berhasil kedudukan PRT tidak ada landasan hukumnya – namun pengakuan sosial bagi pekerjaan PRT di Singapura, Taiwan dan Hongkong harus di imbali dengan kemampuan profesional, celakanya mentalitas profesional yang dituntut masyarakat industri tidak dimiliki pembantu-pembantu ini yang kebanyakan dari masyarakat pedesaan berkultur agraris yang tidak mengenal konsep nilai waktu, disiplin dan berkemampuan tinggi. Seperti pendahulu-pendahulunya yang bekerja sebagai pembantu pada keluarga Indonesia, mereka menganggap bahwa profesi pembantu tidak mutlak memerlukan ketrampilan, hal yang harus diperhatikan adalah adaptasi pada keluarga dengan sikap yang hormat itu saja. Titik kontra inilah yang kemudian banyak melahirkan kekerasan terhadap pekerja migran di Singapura, Hongkong dan Taiwan. Di satu sisi kaum majikan merasa mereka sudah membayar mahal bukan saja pada Pembantunya tapi juga pada agen penyalur, disisi lain para pembantu itu gagap kompleks baik bahasa, budaya yang berbeda, struktur pekerjaan yang dinilainya aneh, aturan-aturan asing dan lain sebagainya.

Di Singapura, Hongkong dan Taiwan para pembantu itu bisa duduk bersama dengan majikan di meja makan yang sama dan makan bersama dengan makanan yang sama pada apa yang majikan makan dan mendapat hari libur. Walaupun pada awalnya gagap budaya itu cenderung melahirkan kekerasan namun profesionalitas para pekerja migran yang berprofesi pembantu itu terbentuk dan menjadi subkultur dalam masyarakat disana. Di Taman Victoria, Hongkong setiap sabtu dan minggu menjadi ajang kumpul pembantu disana, orang Malang, Madiun, Jember atau bahkan Lombok sekalipun bila berkunjung kesana tidak berasa di Hongkong yang berbahasa Mandarin tetapi seperti berada di Jawa dengan bahasanya yang kita kenal akrab.

Lain di negara-negara Asia Timur berbasis masyarakat industri yang meletakkan pembantu rumah tangga sebagai bagian dari pekerja formal. Di negara-negara timur tengah posisi pembantu bukan saja tidak mendapat perlindungan hukum, tapi juga hilang hak sosialnya dan hak kemanusiaannya. Di negara-negara Arab budaya sistem perbudakan dan jual beli manusia yang telah membudaya selama ribuan tahun tidak hilang begitu saja dan mewariskan mentalitas kultur itu pada masyarakat modern Arab terutama negara-negara Petrodollar. Seorang budak perdefinisi merupakan seorang taklukan, dia tidak dianggap eksistensinya, kemanusiaannya nyaris hilang satu-satunya yang mungkin ada dalam diri seorang budak adalah produksi dari hasil kerjanya. Mati hidup seorang budak hanya bergantung pada pemilik. Pemilik hak hidup seorang budak adalah majikan yang tidak bertanggung jawab terhadap keamanan pribadi, memberi kenyamanan psikis dan mobilitas sosial. Jadi ketergantungan keamanan pribadi mutlak diberikan pada sikap mental majikan. Inilah yang kemudian melahirkan banyak kekerasan fisik, seksual maupun verbal bagi pembantu-pembantu rumah tangga yang bekerja di Arab Saudi. Hak asasi mereka dianggap sudah menjadi milik majikan ketika majikan itu membayar kepada agen dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang terpengaruh kultur perbudakan, seorang majikan ketika membayar ia membeli bukan sebagai kontrak kerja. Tatkala kemudian ada kekerasan terhadap pembantu rumah tangga maka sistem hukum di negara itu melindungi majikan apapun kesalahan majikan itu, karena secara sosial anggapan pembantu itu adalah budak masih lekat dalam kelayakan tata sosial mereka, dimana pembantu bukan saja tidak memiliki hak hukum tapi juga hak kemanusiaannya.

Di Amerika Serikat negara yang paling maju dalam perlindungan hak asasi manusia juga masih menyimpan masalah terhadap pekerja-pekerja migran namun konsentrasi permasalahan tidak terletak pada masalah sosial tapi lebih pada masalah hukum ketenagakerjaan untuk membatasi pekerja asing. Baru-baru ini juga terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh warga negara AS keturunan India terhadap pembantu rumah tangga asal Indonesia, namun hukum AS bersikap tegas dengan mempenjarakan majikan itu dalam hukuman selama puluhan tahun. Sebuah sikap sosial dan hukum yang layak ditiru dalam melindungi hak kemanusiaan seseorang.

Selain sering menimbulkan masalah kekerasan, ada juga sedikit masalah yang menggangu akibat negara kita rajin mengekspor pembantu rumah tangga, atau dengan kata lain mengekspor kemiskinan, yaitu martabat orang Indonesia dipandang rendah oleh negara-negara yang dulu jaman Bung Karno mungkin `calon jajahan’ kita seperti Singapura dan Malaysia. Julukan `Indon’ bagi orang Indonesia lebih diasosiasikan pada kalimat peyoratif ketimbang kalimat pujian. Teman saya pernah diceritakan Bapaknya yang sering berkunjung ke Malaysia. “Dulu jaman Bung Karno kalau orang Indonesia berkunjung ke Malaysia, mereka takut pada kita, kita dianggap seperti orang Iran sekarang..manusia bermartabat, revolusioner dan berani menantang Inggris dan Amerika, namun sekarang posisi kita tak jauh lebih dari buruh yang tidak dianggap” itulah kenapa seorang wasit karate dengan tugas resmi dari negara dengan gampang dianiaya polisi disana. Penurunan kualitas martabat ini harus dipertanyakan, mungkin kita memiliki kepemimpinan berkualitas garong ketimbang kepemimpinan berkualitas priyayi yang melindungi dan membebaskan kemanusiaan seseorang.



b. Apakah kita harus seperti ini?

Yang jadi pertanyaan adalah:

Apakah kita selamanya akan terus mengekspor TKW PRT kenegara lain?, sehingga secara tidak langsung akan menjadi suatu bangsa yang diremehkan. Baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan terutama dunia pendidikan kita.

Kapankah kita bisa mengekspor tenaga terampil hasil dari pendidikan negara kita ini?

Tetapi dalam hal ini kita tidak boleh menyalahkan pemerintah, karena hal itu hanya tinggal kepada masing - masing individu, maukah dia berniat untuk memajukan bangsa ini?. Tetapi apabila tiap - tiap individu itu dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan mempunyai kepentingan masing - masing yang di pengaruhi oleh dunia politik. Maka hal itu adalah suatu hal yang sangat berat untuk dilaksanakan apabila sudah dipengaruhi oleh dunia politik.



c. Mari Majukan kreatifitas Demi Majunya Dunia Pendidikan Kita

Selain itu mari kita bangkitkan semangat dari para penerus bangsa ini. Dalam hal itu kita harus percaya bahwa negara kita bisa lebih maju dalam segala hal. Oleh karena itu mari kita majukan pendidikan secara bersama - sama, baik oleh pemerintah, masyarakat, dan oleh pribadi -pribadi yeng mempunyai kompeten akan hal itu.

Beberapa waktu belakangan ini saya jadi banyak berpikir, kenapa kualitas pendidikan di Indonesia dalam kacamata komparatif saya sangat rendah. Saya perhatikan kualitas lulusan SMA/Sederajat,yang belajar dibangku kuliah/akademi, sekarang sangat parah. Kacamata saya selaku masyarakat awam, kadang cuma bisa mengelus dada. Sedemikian rendahnya kah kualitas pendidikan kita sehingga lulusannya hampir semua dikategorikan tidak bermutu! Mengapa sampai bisa terjadi demikian? Apakah yang menjadi sebabnya? Dan bagaimana mungkin Indonesia bisa mengejar ketinggalannya dibandingkan negara-negara lain dengan kondisi demikian?

Kadang timbul rasa sedikit apatis, apa yang dapat dikontribusikan oleh masyarakat biasa seperti kita (yang ingin konstribusi besar tetapi tidak berdaya karena kemampuan yang kurang)

Kalo menurut pandangan saya sih, ada beberapa hal yang membuat kualitas pendidikan kita parah seperti sekarang. Diantaranya adalah : Rendahnya atmosphere kreatif dikembangkan di lingkungan didik di kampus/sekolah. Dari kecil sampe lulus kuliah, para siswa hanya dijejelin kurikulum. Terus apa yang terjadi? Mereka bahkan tidak pernah tahu untuk apa, karena ya daya nalar dan sisi kreatifnya tidak pernah diasah (distimulus). Selama ini kita hanya dijejali tugas-tugas sekolah, itung-itungan, tanpa mengerti esensinya akan dipergunakan untuk kebutuhan real di dunia nyatanya sebagai apa. Dari sebagian kecil saja para pendidik yang cukup “creative” untuk berani tampil beda. Tidak berani berexperiment atau mungkin ya karena dicocok dengan target kurikulum, dan bahkan tidak dibekali dengan kemampuan untuk menjadi seorang pengajar (Menjadi seorang pengajar itu tidak bisa otomatis bisa, bakat dan teknik harus ditularkan). Saya sendiri penganut aliran menjimplak dan praktek, dengan demikian mereka menjiwai apa yang dikerjakan.

Apabila kita tidak pernah merevolusi sistem belajar mengajar di dunia pendidikan kita. Maka kapankah negara kita bisa mengejar ketertinggalannya dalam segala hal dengan negara lain?. Sedemikian pentingnya posisi pendidik bagi suatu bangsa, kenapa tidak pernah menjadi perhatian serius bagi kita. Membangun generasi jauh lebih mulia demi kemajuan bangsa daripada mengurus persoalan lain yang cuma kental unsur politisnya.




DAFTAR PUSTAKA

  • PEMBERDAYAAN & FORUM KOMUNIKASI,

    Departemen PERDAGANGAN PENDIDIKAN Nasional


    August 28, 2007...3:05 pm,
    Dewan Pendidikan Jakarta Pusat
    “Pembantai” oleh Penulis: ANTON

  • Publikasi: Adinoto’s Blog

    Judul:Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia


    Penulis: Adinoto Kadir





Biodata penulis

Nama lengkap :SUDARTO, Panggilan: Darto, lahir pada tanggal 01 Juli 1980. Dia mengenyam pendidikan di SDN 01 Banaran (1992), kemudian ke SMPN 1 Geger (1995) dan dilanjutkan di SMKN 1 Madiun Jurusan Bangunan Gedung (1998).Sekarang Bekerja menjadi Karyawan Di SMPN 1 Kebonsari , dan juga masih kuliah di UII Madiun semester 7 Jurusan Tarbiyah PAI.





html>

0 komentar:

Posting Komentar

DAFTAR ISI