This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

Minggu, 26 Juni 2011

Kemuliaan Rasulullah (1)

Allah SWT berfirman:
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar benar dalam kesesatan yang nyata. (QS Al Jumu’ah 62:2)
Dan Rasulullah bersabda:
Tiga perkara yang apabila perkara ini terdapat di dalam diri seseorang, maka ia akan dapat merasakan manisnya iman, yaitu: (1) Orang yang menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lain, (2) Mencintai seseorang hanya karena Allah (3) Enggan kembali kedalam kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana keengganannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR Bukhari dan Muslim)

1. Kemuliaan Rasulullah
A. Beliau adalah pemuka dan pemimpin.
Rasulullah bersabda, “Sayalah pemuka anak cucu Adam pada hari Kiamat dan tidak sombong. Orang pertama yang dikeluarkan dari bumi, orang pertama yang memberi syafaat, ditangankulah pimpinan pujian, dibawahnya Adam kemudian yang lain”. (Hr Ibnu Hibban dari riwayat Abu Ya’la dengan sanad shahih)
B. Pemimpin yang tidak sombong.
C. Pemberi syafa’at.
Allah sendiri memberitahukan bahwa Dia telah mengampuni dosa dosa yang terdahulu dan yang akan datang bagi Nabi Muhammad. Dan belum pernah Allah memberi keistimewaan seperti itu kepada nabi nabi lainnya atau minimal tidak ada berita yang mengindikasikan adanya fenomena keistimewaan tersebut kepada selain Nabi Muhammad. Karena pada hari kiamat nanti, ketika setiap Nabi dimintai syafa’at (pertolongan), mereka (secara individu) akan menyebutkan kesalahan yang pernah diperbuatnya sendiri dengan mengungkapkan: (Kesalahan) diriku…….. (Kesalahan) Diriku………… .

Rasulullah bersabda: “Aku adalah pemuka manusia saat hari kiamat. Apakah kalian tahu, mengapa demikian? Karena pada hari kiamat Allah akan mengumpulkan manusia (dari) yang pertama hidup hingga yang terakhir dalam sebuah lapangan…. (HR bukhari dan Muslim) dan telah di takhrij dalam kitab Zhilal Al Jannah no.811.

Akulah yang berhak memberikan syafa’at” (HR Bukhari, Muslim dan Ibnu Abu ‘Ashim dalam kitab As Sunnah no. 816-817)

D. Nabi adalah manusia pertama yang memberi syafa’at dan yang pertama mendapat syafaat.
Aku adalah pemuka anak cucu Adam pada hari kiamat. Orang pertama yang dikeluarkan dari perut bumi, orang pertama yang memberi syafa’at dan orang pertama yang menerima syafa’at” (HR Muslim)

E. Penangguhan doa Nabi Muhammad.
Sabda Rasulullah: “Setiap Nabi memiliki doa mustajab. Akan dikabulkan saat dia berdoa. Sedangkan doaku ditangguhkan hingga hari kiamat sebagai syafa’at bagi umatku” (HR Bukhari, Muslim, Abu Hurairah, Anis bin Malik).

F. Sumpah Allah atas nama Muhammad.
Allah SWT telah bersumpah atas nama hidup Nabi Muhammad SAW. Dalam firmanNya: “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang ambing dalam kemabukkan (kesesatan)
(QS Al Hijr, 15:72).

Sumpah yang mengatasnamakan seseorang mengindikasikan adanya kemuliaan dan keagungan hidup dan pada diri orang tsb terhadap subjek yang melakukan sumpah. Dan memang sangat layak untuk menjadikan hidup Nabi Muhammad sebagai sumpah olehNya karena hidup beliau memang mulia.

G. Kemuliaan nama panggilan.
Allah memuliakan belia dalam menyebut nama panggilan baginnya. Dia memanggil dengan nama nama yang disukaiNya serta kemuliaan sifat sifat yang dimiliki olehnya. Misalnya Allah SWT menggunakan ungkapan dalam firmanNya: “Wahai Nabi…” (QS An Anfaal 8: 64,65,70 dll) dan “Wahai Rasul ….” (QS Al Ma’idah 5:41 dan 67)

Inilah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para Nabi lainnya. Allah cenderung menyeru mereka dengan nama biasanya.

Seperti dalam firmanNya: “Wahai Adam…. (QS Al Baqarah 2:35), “Wahai Isa bin Maryam”, ingatlah akan nikmatKu kepadamu” (QS Al Maidah 5;110), “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah SWT” (QS Al Qashash 28:30), “Wahai Nuh, turunlah dengan selamat” (QS Huud 11:48), “Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah …….” (QS Shaad 38;26), “Wahai Luth, sesungguhnya Kami utusan Tuhan-Mu …….” (QS Huud 11:81), “Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami…. (QS Maryam 19:7), “Wahai Yahya, ambillah Kitab itu…..” (QS Maryam 19:12).

Abu Nu’aim dalam kitab Dalail An Nubuwah mengungkapkan: ulama berpendapat diantara keistimewaan Nabi, Allah tidak langsung memanggilnya dengan namanya.

H. Mukjizat mukjizat Nabi SAW.
Mukjizat pada kebanyakan Nabi hanya berlaku sebatas era hidupnya saja, sedangkan mukjizat Al Quran pada Nabi Muhammad tidak akan pernah lekang oleh zaman dan kekal hinga hari kiamat. Rasulullah bersabda: “Setiap Nabi telah dianugrahi ayat ayat dan memiliki pengikut yang beriman dengannya. Sedangkan aku telah dikaruniai wahyu yang diturunkan kepadaku, aku berharap akulah yang memiliki pengikut terbanyak pada hari kiamat nanti” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)

I. Umat Muhammad Adalah Umat Terbaik.
Allah SWT telah menggariskan ganjaran bagi setiap Nabi sesuai dengan amal perbuatan (sikap), kondisi (dinamika) dan ucapan (fenomena tanggapan) yang diapresiasikan umatnya. Berbeda dengan kondisi umat Nabi yang sudah digariskan sebagai penghuni surga. Sebagaimana firman Allah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imran 3:110).

Keutamaan umat Nabi terletak pada keutamaan karakteristik wawasan, kondisi dinamis, ungkapan dan tingkah laku yang dimiliki oleh komunitas ini. DItambah lagi dengan, kecenderungan spiritual (ibadah) dan pola cakap umatnya serta kecenderungan mereka untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT serta tradisi mereka untuk bershalawat dan selalu mendoakan beliau yang kesemuanya ini akan menjadi pendorong ganjaran kebajikan yang terus menerus bagi beliau hingga hari kiamat kelak.

Barangsiapa yang melakukan sebuah sunnah yang baik dalam Islam. Maka dia akan menuai ganjarannya. Dan ganjaran dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun” (HR Muslim)

J. Universalitas Risalah Nabi Muhammad.
Allah telah mengutus para Nabi secara khusus kepada kaumnya, sedang Nabi Muhammad telah diutus kepada jin dan segenap manusia.
Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” dan firman lainnya yang berbunya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan kepaada hambaNya (Muhammad) agar menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta” .

Sabda Nabi: “Aku telah dianugrahi lima keutamaan yagn belum pernah ada seorang Nabipun diberi hal serupa sebelum aku diutus: (1) aku ditolong dari rasa takut dalam perjalanan satu bulan, (2) bumi telah dijadikan sebagai tempat bersujud dan bersuciku, (3) siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat hendaknya dia melakukan shalat , (4) harta rampasan perang telah dihalalkan bagiku (5) Nabi terdahulu hanya diutus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia dan aku diberi wewenang memberikan syafa’at di hari kiamat” (HR Bukhari dan Muslim)

K. Dialog antara Allah dan Nabi Muhammad.
Allah telah berbicara kepada Nabi Musa di bukit Sinai dan lembah suci. Sedangkan Nabi Muhammad diajak bicara di Sidratulmuntahaa. Firman Allah dalam surat An Najm, ‘Lalu Dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan’ ‘(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi sesuatu yang meliputinya’
‘Kemudian Jibril pergi bersamaku menuju Sidratul Muntaha dan ternyata daun daunnya seperti daun gajah, buah buahannya seperti anjang anjang (tiang penopong). Sidratul Muntaha selalu diliputi oleh segala sesuatu (yang tunduk akan) perintah Allah, kapanpun turun perintahnya untuk berubah, maka diapun berubah. Tak ada seorangpun yagn sanggup menggambarkan akan keindahannya. Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang telah diwahyukan. Selanjutnya diwajibkanlah kepadaku shalat…….
.’ (HR Muslim dan Bukhari)

L. Orang Pertama Masuk Surga.
Kami adalah umat terakhir dari penduduk dunia dan yang pertama pada hari kiamat, umat yang lebih dahulu diadili sebelum yang lainnya dan kami adalah yang pertama akan masuk surga’ (HR Muslim)

Selasa, 14 Juni 2011

Cinta dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Allah Ta'ala berfirman : 

Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31) 

Ayat ini menerangkan bahwa tanda dari kecintaan kita kepada Allah adalah mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan bahwa mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sarana untuk mendapatkan kecintaan dan ampunan dari Allah Ta'ala. 

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

" Seseorang di antara kamu belum beriman sehingga aku lebih dicintainya daripada kedua orangtua, anaknya dan seluruh manusia." HR. Bukhari dan Muslim. 

dalam diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terdapat akhlak yang mulia, keberanian dan kemuliaan. Barangsiapa melihatnya secara tiba-tiba akan takut kepadanya, dan barangsiapa yang bergaul dengannya maka dia akan mencintainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyampaikan risalahnya, memberi nasihat kepada umat, mempersatukan kalimah, membuka beberapa hati manusia bersama para sahabatnya dengan mempersatukan mereka dan membuka banyak negeri dengan perjuangan mereka untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan terhadap Tuhan manusia. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya telah menyampaikan kepada kita agama Islam secara sempurna tanpa tercampur dengan bid'ah dan khurafat, dan tidak perlu ditambah atau dikurangi. 

Allah berfirman : 

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. QS. 5:3) 

Oleh karenanya, ikutilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara menyeluruh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki dan janganlah menambah-nambah atau membuat syari'at yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula pernah dikerjakan oleh para sahabatnya, dengan demikian mudah-mudahan Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang benar dalam keimanan mereka kepada-Nya sehingga Allah memenuhi janji-Nya kepada mereka. 

Allah berfirman : 

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21) 

Dan ketahuilah bahwa cinta kepada Allah dan RasulNya yang benar mempunyai konsekuensi untuk melaksanakan kitab Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih, melaksanakan hukum dengan berpegang teguh kepada keduanya dan tidak boleh mendahulukan pendapat orang atas keduanya. 

Allah berfirman : 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 49:1) 

Ya Allah, karuniailah kami untuk mencintai dan mengikuti RasulMu, berakhlak dengan akhlaknya dan memperoleh syafa'atnya.

Berhujjah Dengan Hadits Dla'if


      Salah satu fenomena yang marak dilakukan adalah pengamalan hadits Dla’if secara serampangan tanpa pilah dan pilih terlebih dahulu, padahal implikasinya amat berbahaya sekali.
            Oleh karena itu, perlu kiranya diketahui kapan berhujjah dan mengamalkan hadits Dla’if itu dibenarkan dan apa pula persyaratannya?.
            Untuk itu, disini kita akan membahas sedikit tentang hukum berhujjah dengannya dan persyaratannya.
            Berhujjah dengan hadits Dla’if dan mengamalkannya perlu ada perinciannya:
1.        Pengamalannya di dalam masalah-masalah ‘aqidah tidak boleh secara ijma’.
2.       Pengamalannya di dalam masalah-masalah hukum (al-Ahkâm) tidak diperbolehkan juga                menurut mayoritas Ulama.
3.      Sedangkan pengamalannya di dalam Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan yang memiliki              keutamaan), Tafsir, al-Maghâziy (berita-berita seputar peperangan-peperangan)               dan     Sirah, mayoritas para ulama membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai             berikut:
- Hadits yang dijadikan hujjah/diamalkan tersebut tidak Dla’if (Lemah) sekali.
- Permasalahan yang dibicarakan di dalam hadits yang Dla’if tersebut masih berada di dalam         kawasan prinsip dasar umum. Alias bukan terpisah dan sudah menjadi cabang tersendiri.
-Ketika mengamalkan hadits Dla’if tersebut, tidak meyakini kevalidannya (bahwa ia                 adalah hadits yang shahih) bahkan harus meyakininya sebagai sikap preventif.
 
             Imam an-Nawawy telah menukil ijma’ para ulama mengenai hukum mengamalkan hadits Dla’if dalam masalah Fadlâ`il al-A’mâl padahal sebenarnya ada banyak ulama terkenal yang tidak sependapat dengan hal itu, diantaranya Abu Hâtim, Abu Zur’ah, Ibn al-‘Araby, asy-Syawkany dan ulama kontemporer, Syaikh al-Albany. Demikian pula pendapat yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim serta petunjuk yang didapat di dalam dua kitab Shahih; Shahîh al-Bukhary dan Shahîh Muslim.
            Maka berdasarkan hal ini, hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak dalam bab apapun di dalam dien ini, dan ketika diucapkan/dibicarakan semata hal itu untuk sekedar pendekatan (bersifat preventif).
            Ibn al-Qayyim mengisyaratkan dimungkinkannya untuk menggunakan Hadits Dla’if tersebut ketika dalam kondisi akan menguatkan dua diantara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat adalah  bahwa hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak selama dugaan terhadap validitasnya masih lemah dan selama ia tidak mencapai derajat Hasan Li Ghairihi (Menjadi Hasan karena ada penguat/pendukungnya dari sisi sanad dan matan yang lain).
(Disarikan dari Jawaban Syaikh DR.’Abdul Karim bin ‘Abdullah al-Khudlair [Dosen pada Fakultas Ushuluddin di Jâmi’ah al-Imam Muhammad bin Su’ûd], Majallah ‘ad-Da’wah’, Vol.1890, Tgl. 29-02-1424 H ).
 
CATATAN:
Ada ulama yang menambahkan satu syarat lagi, yaitu, ketika berhujjah dengan hadits Dla’if dan menyampaikannya di dalam suatu majlis, maka harus disebutkan ke-dla’if-an haditst tersebut. Wallahu a’lam.

Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )

Mukaddimah

Pembahasan seputar Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah. 

Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).

Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.

Semoga bermanfa'at bagi kita semua.

A. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )

Definisi
Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir. 

Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H) 

Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)?

I. Pendapat Pertama:

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR SAMA SEKALI.
IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI

Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.

II. Pendapat Kedua

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan PENDAPAT KETIGA nanti.
Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.

SYUBHAT MEREKA

Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya, tidak mendapatkan pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya atas kebohongannya namun tanpa dapat memastikan.

JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT

Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan mencarinya.

Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada anda. 

Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).

III. Pendapat Ketiga

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT

Inilah pendapat YANG SHAHIH.

Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca: belecekan) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.

ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA

Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:
1.    Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa menjadi Mutawatir.

Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd.
Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi.
Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
2.    Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu.
3.    Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang.
Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut. 

B. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah

Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI

Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.

ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM MASALAH INI

1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan BID'AH (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya.

2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
 
Di dalam riwayat yang lain,

"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."

3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).
Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"

Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :

"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)

Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)

C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy
Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.

Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.
Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.
Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.

Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
a.     Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
b.    Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
c.     Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)
d.    Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd. (Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah)

D. Fatwa Ulama Kontemporer

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
1.    Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu :
"Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
2.    Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
3.    Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
4.    Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok. 

Kesimpulannya:
Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor), Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, (Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32)

DAFTAR ISI